Metrotvnews.com, Davao: Pengembangan energi panas bumi atau geothermal di Indonesia saat ini masih belum optimal dibandingkan dengan potensi yang ada karena terbentur undang-undang.
"Sebagian besar potensi panas bumi di Indonesia berada di kawasan konservasi dan hutan lindung, tantangannya di situ kita masih terbentur undang-undang kehutanan," kata Kepala Seksi Penyiapan dan Evaluasi Area Kerja Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Purbiyantoro di Davao, Rabu (30/10).
Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia yang mencapai 28,994 MW, namun yang sudah dimanfaatkan baru 1,196 MW atau empat persen dari total energi.
"Kita sebenarnya sudah sekitar 30 tahun memanfaatkan geothermal. Saat ini yang sudah dimanfaatkan sebesar 1.196 MW dari 14 pembangkit yang sudah terpasang," katanya.
Sebagian besar berada di Jawa Barat, sedangkan potensi geothermal lainnya yang bagus di Pulau Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.
Dalam undang-undang kehutanan, tidak dibenarkan melakukan kegiatan penambangan dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Pemanfaatan geothermal di ESDM masih disebut dengan kegiatan penambangan. "Dari sisi kita sendiri sudah mau mulai mengubah kata-kata pertambangan dalam UU panas bumi," katanya.
Kepala Seksi Evaluasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Kementerian Kehutanan Elni mengatakan bahwa berdasarkan undang-undang hutan konservasi tidak boleh dibuka. Hal tersebut, katanya, karena di Indonesia satu-satunya hutan yang masih
terjaga adalah hutan konservasi.
"UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati lagi direvisi di internal Kemenhut. Kita merevisi bagian untuk pemanfaatan panas bumi dengan usulan boleh dibuka tapi dengan kriteria yang sangat ketat," katanya.
Menurut dia, peraturan Menteri Kehutanan tentang panas bumi di kawasan konservasi sudah disiapkan sejak 2011 dan sudah dipaparkan di Kementerian ESDM dan asosiasi panas bumi.
Dibandingkan dengan Filipina yang hanya memiliki potensi panas bumi 6.000 MW, akan tetapi sudah 14 persen yang dimanfaatkan, Indonesia masih jauh ketinggalan, yaitu empat persen dari potensi yang ada. (Antara)
Editor: Agus Tri Wibowo