Selasa, 21 Mei 2013

Home » BISNIS.COM: KITA MANAJEMEN: Pemimpin, Basis Untuk Mengayomi

,
BISNIS.COM
Bisnis Indonesia Online // via fulltextrssfeed.com
KITA MANAJEMEN: Pemimpin, Basis Untuk Mengayomi
May 21st 2013, 04:03

130521_kepecyaan usaha.jpg--- Dalam teori kepemimpinan, sebelum seseorang menjadi panutan, ia mesti berpengaruh lebih dulu. Dan pengaruh itu kemudian sebagai basis untuk mengayomi--

Aset terbesar organisasi adalah manusia dengan segala pengetahuan dan pemikirannya. Setiap orang dalam organisasi itu pasti memiliki pengetahuan, pemikiran, dan pengalaman yang berbeda-beda karena datang dari lingkungan dan asal yang berlainan. Karena itu tugas pemimpinnya adalah menggerakkan sekaligus memanfaatkan aset berharga itu untuk mencapai visi dan misi organisasi.

Masalahnya, kita sering mengedepankan perbedaan ketimbangan persamaan. Ego yang didorong oleh persaingan untuk menjadi yang terbaik dalam kelompok bisa menjadi bola liar yang justru melemahkan dan mengacaukan tujuan organisasi.

Tugas pemimpin kelompok itu mengelola ego menjadi energi yang positif sehingga persaingan antar individu menjadi tenaga yang kuat menggapai produktivitas. Tak hanya bagi kelompoknya, tapi bagi tiap anggotanya.

Kuncinya adalah kekompakkan. Kesadaran dari tiap anggota bahwa tujuan mereka ada di sana adalah menggapai tujuan bersama seraya tak melupakan tujuannya sendiri berada di sana. Pertanyaannya bagaimana menjadikan kelompok itu kompak?

Kompak di sini berarti setiap anggota berperan dalam posisinya, seperti sebuah tim sepak bola yang bekerja sama mengoper dan mengumpan untuk mencapai tujuan utama permainan ini: menghasilkan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Syukur-syukur jika permainan mereka terlihat indah.

Bermain indah bukan tujuan utama sepak bola. Namun, tim yang baik tak melupakan unsur ini. Sebab sepak bola telah menjadi seni, ketimbang sekadar permainan dan olahraga untuk membugarkan tubuh—tujuan purba setiap olahraga.

Ketika sudah menjadi industri, permainan sebuah tim juga dituntut enak ditonton. Dan enak ditonton telah melampui pencapaian dasarnya: sportif, bugar, mendapat gol. Menguasai sebanyak mungkin penguasaan bola saja, dan sportif, tak berfungsi apa-apa jika kalah.

Masalahnya adalah permainan yang indah perlu pemahaman bersama, lewat latihan yang intens, seringkali keras. Dalam organisasi di perusahaan pun pemahaman karakter antar anggota menjadi mutlak sebelum mereka menggerakkan kemampuan dan energinya untuk mendekatkan organisasi itu tetap dalam visi dan misinya.

Pemahaman itu bisa tecermin dalam percakapan dan interaksi sehari-hari antar anggota organisasi: antar anggota di level bawah, antar anggota beda level hingga antara pucuk pimpinan dengan bawahannya.

Tanpa itu semua visi dan misi sulit dicapai, tujuan bersama susah didapatkan. Ujung-ujungnya hasil buruk yang diperoleh. Ada satu contoh yang bagus tentang ini. Klien VitalSmarts adalah Sprint Nextel, sebuah perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat dengan 1.700 karyawan yang memble produktivitasnya.

Para eksekutif frustrasi mengendalikan para manajer dan manajer kewalahan menghadapi anak buah yang membangkang dalam rapat-rapat. Ujungnya aksi korporasi kerap tak mulus: pengiriman barang telat, produksi cacat, dan konsumen tak terpuaskan. Kepercayaan konsumen pun—tulang punggung bisnis jasa telekomunikasi seperti ini—lambat laun memudar. Perusahaan berada di tubir kehancuran.

PERAN KOMUNIKASI

Dari wawancara dan kuisioner oleh VitalSmarts terungkap bahwa pokok soal paling mendasar yan menyebabkan keadaan perusahaan jadi genting adalah komunikasi. Dalam bahasa manajemen, tak ada investasi positif antar karyawan, baik dalam satu level, antar level dan antara bawahan dengan atasan.
 

Mereka seperti robot dalam bekerja, hanya mengerjakan rutinitas tanpa dilandasi dorongan hati dan mencintai profesinya. Pendeknya tak ada budaya perusahaan yang melekat pada tiap orang.

Padahal, dari hasil wawancara, para karyawan menginginkan tempat bekerja yang guyub. Ini niat yang menjadi modal bagus untuk memperbaikinya. Cara yang dilakukan VitalSmarts adalah mengaliasis kuisioner itu dan menyarankan perubahan radikal. Para manajer dipilih dari pendapat karyawan sendiri.

Mereka yang punya kemampuan pada level itu dikumpulkan dalam satu kelompok dan karyawan secara anonim diminta memilih mana yang diinginkan mereka untuk diangkat menjadi manajer. Tiga nama yang paling banyak disebut kemudian dikukuhkan.

Sebab problem pada level manajer di Nextel adalah tak adanya otoritas pimpinan dalam memutuskan sebuah bisnis. Pendapat mereka tak dihargai karena latar belakangnya yang tak bisa diterima oleh sebagian besar bawahan.

Dengan cara dipilih dengan suara terbanyak, para manajer punya modal awal yakni dikagumi sebagian banyak anggotanya. Karena itu pendapatnya didengar. Dalam teori kepemimpinan, sebelum seseorang menjadi panutan, ia mesti berpengaruh lebih dulu. Dan pengaruh itu kemudian sebagai basis untuk mengayomi.

Dalam level eksekutif mereka diminta saling mengawasi dan kritik dibiarkan terbuka tanpa menyerang secara personal. Dengan begitu masalah didiskusikan hanya untuk mencari solusi, bukan menyalahkan tindakan yang menghasilkan output yang keliru.

Para eksekutif diminta saling mendengar pendapat orang lain lalu menganalisis bersama pendapat itu sampai merasa tak ada yang disalahkan atau tak diajak berperan. Otoritas paling tinggi menjadi mediator dan memutuskan pada saat yang tepat ketika perdebatan tak berujung dan solusi tak kunjung ditarik.

Hasilnya adalah kumpulan bersama orang-orang dalam organisasi bernama Nextel yang memompakan energi positifnya untuk visi perusahaan mencapai hasil terbaik dalam dunia telekomunikasi dengan persaingan yang begitu ketat.

Tak heran jika kemudian majalah bisnis Fortune menggolongkan Nextel ke dalam 100 perusahaan paling berpengaruh dengan pendapatan per tahun mencapai US$ 45 miliar. Reputasi perusahaan lambat laun naik seiring kepercayaan konsumen yang kembali dan kian tebal.

Penghargaan Fortune itu telah menunjukkan sistem perusahaan berjalan pada jalur yang sesuai visi dan misi Nextel. Perusahaan ini kemudian kian maju dan berkembang karena sistem itu ditabalkan menjadi budaya perusahaan. Setiap orang paham tujuan bersama dalam Nextel yakni memuaskan pelanggan dan mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Nilai-nilai kemudian berkembang dan turun temurun secara natural di perusahaan itu.

Setiap orang yang datang bergabung ke sana secara otomatis menyatu dalam budaya Nextel. Budaya yang kemudian terbukukan dalam bentuk standard operating procedure, penilaian kinerja, hingga jejang karir.

Setiap orang bisa tahu kelak jadi apa di Nextel dan merencanakan hidupnya sejak awal. Sebab, yang paling penting dalam "tacit" perusahaan adalah membumikan sistem dan budaya itu menjadi pemahaman bersama lewat dokumentasi tertulis.

Budaya yang terpelihara itu diawasi untuk diperbarui sesuai perkembangan zaman. Seperti tubuh, organisasi juga membutuhkan pengecekan rutin berupa evaluasi terhadap tujuan, target, dan apa yang sudah dilakukan sebelumnya.

Perencanaan karena itu bisa dirumuskan dengan lebih ajek. Perusahaan akan selalu menatap ke depan untuk menciptakan peluang dan tantangan baru. Sebab, perusahaan yang maju musuh utamanya adalah dirinya sendiri: bagaimana bisa setia pada tacit yang sudah digariskan itu. Manusia sebagai aset bergerak mengikuti dalam koridor yang sudah tertulis itu.
 

Dalam tahap ini, pemimpin organisasi hanya tinggal menjaga dan merawat budaya itu, menajamkan, mengecek, dan mengembalikan ke trek yang benar jika mulai melenceng.

*Partner Dunamis Organization Services

Editor : Martin Sihombing

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions