TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Masita menyatakan sejak krisis ekonomi 1998, timnya sudah mendesak PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) agar pembayaran transaksi di pelabuhan menggunakan Rupiah. Namun,Zaldy melihat, Pelindo selalu memiliki alasan untuk menggunakan dolar Amerika dalam transaksinya.
Menurut Zaldy, tak hanya penggunaan dolar yang membuat biaya logistik besar, tetapi juga karena rencana kenaikan tarif bongkar muat kontainer, yakni sepuluh persen. "Dampaknya, biaya ekspor impor kita naik," kata Zaldy saat dihubungi Tempo, Ahad 29 Juni 2014.
Zaldy mengatakan, transaksi di pelabuhan-pelabuhan negeri jiran sudah menggunakan mata uang dalam negeri. "Di Singapura, Thailand, dan Malaysia sudah tidak menggunakan dolar Amerika," ujar Zaldy. Menurut dia, segala transaksi perdagangan yang terjadi di Indonesia, seharusnya juga menggunakan Rupiah.
Ia mengungkapkan, kapasitas yang bisa dilayani Pelindo yakni sekitar 7 juta TEUS setahun. Sedangkan biaya Terminal Handling Cost di Priok yakni sebesar US$ 95 per kontainer. "Coba kalikan saja, jumlah itu besar sekali jika dirupiahkan." (Baca:Mitsui Kelola Kalibaru, Tarif Pelabuhan Naik?)
Saat ini, tarif terminal handling charge di Pelabuhan Tanjung Priok yakni US$ 95 per kontainer. Tarif tersebut termasuk tarif bongkar muat peti kemas (container handling charges) sebesar US$ 83, pajak pertambahan nilai sebesar US$ 8,3 dan surchages US$ 3,7 untuk setiap kontainer.
"Dari sisi kami, costnya memang tidak terlalu. Tapi, dari sisi Pelindo, transaksi dengan dolar memang akan menambah income." (Baca: Biaya Logistik Terkerek Aneka Pungli dan Monopoli)
PUTRI ADITYOWATI
Terpopuler:
Memerkosa Enam Remaja, Tante May Divonis 12 Tahun
Anggota TNI Akui Bakar Juru Parkir Monas
Transformers Age of Extinction: Megah dan Dangkal
Usai Piala Dunia, Xavi Bingung Masa Depan
Ramadan, Omzet Pasar Tradisional Naik 20 Persen