Metrotvnews.com, Jakarta: Sejumlah pengamat mengatakan penurunan nilai tukar rupiah dan mata uang regional lainnya dikarenakan oleh penguatan dolar Amerika Serikat. Di samping itu, tekanan juga karena dari dalam negeri.
"Mata uang regional memang lemah terhadap dolar Amerika Serikat. Tapi, lokal juga memberi tekanan terhadap rupiah," tutur Asisten Gubernur Bank Indonesia Hendar di Jakarta, kemarin (11/6).
Sementara itu, Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual memaparkan, katalisator penguatan dolar adalah positifnya sejumlah data ekonomi negara Adidaya itu, seperti penyerapan tenaga kerja, dan perbaikan rating kredit dari S&P ke prospek stabil.
Departemen Tenaga Kerja AS merilis lapangan kerja AS di bulan Mei 2013 yang bertambah 175.000 orang. Angka ini melebihi ekspektasi pasar yang sebesar 170.000 orang. Jumlah itu juga melampaui angka penciptaan lapangan kerja baru di April yang 149.000 orang, meski tingkat pengangguran di AS naik dari 7,5% di April ke 7,6% di bulan Mei.
"Selanjutnya juga dinanti angka penjualan ritel di Amerika Serikat. Pelaku pasar spekulasi data tersebut juga akan membaik. Hal ini mendorong penguatan dolar," tuturnya.
Adapun sejumlah faktor negatif dari dalam negeri antara lain, membengkaknya defisit perdagangan, defisit neraca berjalan, dan ketidakpastian realisasi penyesuaian harga BBM. Kondisi tersebut menciptakan sentimen negatif pelaku pasar, terutama investor asing. Hal ini terlihat dari maraknya aksi jual oleh investor asing terhadap obligasinya.
"Aksi jual investor asing saat ini sudah mencapai Rp14 triliun," tuturnya. Maraknya aksi jual asing memicu kenaikan yield SUN yang kini berada di level 6,3%. Dia mengatakan, aksi jual juga terjadi di pasar modal.
Menurut David, BI saat ini hanya dapat melakukan intervensi untuk stabilkan nilai tukar. Sebab, otoritas perbankan tersebut belum dapat menggunakan instrumen lainnya seperti BI rate, karena menunggu kepastian penyesuaian harga BBM.
Ketidakpastian tersebut, kata David, akan terus membawa pelemahan nilai tukar rupiah. Apabila nilai tukar terus tergerus akan memperbesar inflasi karena mahalnya barang-barang import. Terlebih, saat ini import barang akan tinggi untuk pemenuhan kebutuhan puasa.
"Kenaikan harga barang impor memengaruhi 25%-30% terhadap inflasi. Ditambah kenaikan listrik, harga gas, dan BBM. Laju inflasi bisa diatas 8%, jika tidak ada kebijakan pengendaliannya," terangnya. "Kondisi sekarang sudah seperti snow ball effect," tetangnya. (Wesley Rudolf)
Editor: Afwan Albasit