Rabu, 22 Mei 2013

Home » BISNIS.COM: PERKEBUNAN: Giring Malaysia ke Lahan Degradasi

,
BISNIS.COM
Bisnis Indonesia Online // via fulltextrssfeed.com
PERKEBUNAN: Giring Malaysia ke Lahan Degradasi
May 22nd 2013, 05:28

130521_tabel-cpo.jpg130522_data gambut.jpgBISNIS.COM, JAKARTA—Pemerintah akhirnya resmi memperpanjang moratorium atau penangguhan izin pengelolaan hutan dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden No.6/2013.

Dalam inpres ini, pemerintah bermaksud melanjutkan penundaan izin baru pemanfaatn hutan alam dan lahan gambut di area konservasi, hutan lindung dan produksi untuk kurun 2 tahun ke depan. "Instruksi Presiden untuk memperpanjang moratorium kehutanan sudah saya tanda tangani. Mari kita kelola hutan secara berkelanjutan. *SBY*,"  tutur Presiden SBY lewat akun twitternya, @SBYudhoyono, belum lama ini.

Adapun perpanjangan moratorium juga bertujuan menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut dalam upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Laman setkab.go.id menyebutkan penundaan izin baru yang juga berlaku di area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru. Namun ini tak berlaku bagi permohonan yang sudah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan dan untuk pembangunan yang bersifat vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi, listrik, lahan padi serta tebu.  

Ini tak berlaku pula atas perpanjangan izin yang sudah ada, sepanjang masih berlaku serta restorasi ekosistem. Langkah moratorium segera diikuti dengan revisi Permentan No.26/ 2007 yang bakal membatasi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit bagi perusahaan maksimal 100 hektare.

Sementara itu, perusahaan yang terlanjur memiliki lebih 100 ha tidak harus mengurangi areal kebunnya.

Menurut Sesditjen Perkebunan Kementan, Mukhti Sardjono, perusahaan diberi waktu 3 tahun untuk memaksimalkan lahan yang dimiliki sesuai dengan hak guna usaha (HGU). "Bila tidak ditanami akan ditegur dan jika diabaikan, lahannya disita negara," tuturnya.

Jika disimak, sejak awal, langkah moratorium sudah mendapatkan reaksi penolakan dari pelaku bisnis di berbagai sektor terkait. Usaha perkebunan kelapa sawit dan industri minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), tercatat yang paling keras menentang.

Pasalnya, moratorium dirasakan sebagai pukulan berkepanjangan bagi ekspansi perkebunan dan peningkatan produksi CPO. Tak heran jika Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mempertanyakan moratorium tahap kedua ini. 

"Kemarin sudah dimoratorium 2 tahun, apa hasilnya? Mengapa perlu diperpanjang?" tanya Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gapki, pekan lalu

Perpanjangan moratorium hutan gambut juga dinilai berpotensi memperlambat pertumbuhan produksi CPO.

Gapki menghitung, potensi pertumbuhan saat ini 2,2 juta-2,4 juta ton/tahun. Dengan perpanjangan moratorium lahan gambut bisa jadi beberapa tahun ke depan cuma tumbuh 1 juta ton.

"Padahal semua ahli, katakan APL gambut bisa digunakan. Bahkan UU kehutanan tidak melarang," tegas Sekjen Gapki Joko Supriyono. 

Jauh sebelumnya, mantan Direktur Eksekutif Asosiasi pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nanang Rotandi sudah mengingatkan, moratorium hanya membuat hutan terbengkalai, tanpa penjaga, tanpa pengelola, dan justru menjadi open acces. "Yang benar itu [seharusnya] pengelolaan hutan lestari bukan moratorium," tuturnya,

Reaksi penolakan pelaku bisnis di berbagai sektor terkait termasuk industri sawit, tentu bisa dimaklumi.  

Namun langkah pengendalian harus pula tegas diterapkan guna mengerem laju kerusakan hutan yang sudah sedemikian parah dan meluas. 

Terlepas dari benturan kepentingan tersebut, perpanjangan moratorium haruslah menjadi momentum penyempurnaan aturan main pemanfaatan lahan yang lebih bertanggung jawab dan lestari.

Sampai di sini, kontroversi moratorium tentu tak lagi perlu dibahas panjang. Jauh lebih penting kini adalah menata kelangsungan industri kelapa sawit yang lebih baik dari berbagai sisi sekaligus memberi kemaslahatan lebih besar bagi masyarakat luas. 

Jika disimak, gurihnya industri kelapa sawit juga banyak dinikmati kalangan investor asing terutama asal Malaysia yang  agresif memperluas lahan kebunnya justru di Indonesia. 

Itu sebabnya, momentum perbaikan dan penyempuraan tata kelola hutan dan lahan perkebunan, selayaknya pula ditaati secara lebih baik lagi oleh investor sawit asal negeri jiran tersebut. 

Memanfaatkan momentum hasil pemilu baru-baru ini, rasanya tak berlebihan pula mengajak pemerintahan baru Malaysia untuk lebih memahami langkah Indonesia yang bermaksud mendongkrak indeks tata kelola kehutanan yang tahun lalu pada level 2,33 dari skala 5.

Terlebih, pemerintahan koalisi Barisan Nasional pimpinan Perdana Menteri Najib Razak yang kembali memimpin Malaysia, sudah lebih memahami berbagai langkah ekspansi industri sawit negaranya ke Indonesia. 

Dengan begitu akan lebih mudah mengarahkan ekspansi ke depan yang sejalan dengan maksud kebijakan Indonesia dan pentingnya menjaga kelangsungan industri sawit yang lestari.

Repotnya, hingga kini belum ada hitungan resmi luas perkebunan sawit di Indonesia yang dikuasai investor Malaysia. Meski begitu berbagai kalangan meyakini luasnya terus meningkat dari tahun ke tahun.  

Dewan Minyak Sawit Indonesia misalnya, memperkirakan luas kebun sawit milik investor Malaysia saat ini sudah lebih dari 2 juta hektare (ha) atau sekitar 24,7% dari total perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 8,1 juta ha.

Hitungan di atas tak berbeda jauh dengan catatan Gapki yang memperkirakan kebun kelapa sawit milik investor Malaysia antara 1,5 juta-2,0 juta ha atau 18,5%-24,7% dari total perkebunan di Tanah Air seluas 8,1 juta ha.

Lain lagi hitungan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang mencatat luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sekitar 8,9 juta ha, terdiri dari kebun rakyat 3,6 juta ha dan kebun swasta asing 2,6 juta ha.

Parahnya, sebagian dari perkebunan rakyat tadi sudah jatuh ke tangan investor Malaysia beberapa tahun terakhir dengan pembelian di bawah tangan.

Hampir semua pemain utama industri sawit Malaysia pun sudah bercokol menguasai lahan kebun di Indonesia, sebut saja Sime Darby, Guthrie, Golden Hope, KL Kepong, IOI, TH Plantations, dan Kulim.   

Bahkan, Grup Khazanah dari sektor keuangan juga merambah bisnis sawit di Indonesia.

LAHAN DEGRADASI 

Jika disimak, moratorium bermaksud mengerem terjadinya kerusakan hutan dan lahan (degraded land) yang sudah sedemikian luas.

Berdasarkan hitungan Kementerian Kehutanan, luas hutan yang terdegradasi alias rusak saat moratorium tahap pertama yang dimulai 2 tahun lalu sudah mencapai lebih dari 35 juta ha. 

Kini degraded land diperhitungkan berkurang tinggal 23 juta ha. Itu berarti ada pula investasi nyata di atas lahan yang sudah terdegradasi tersebut.

Atas potensi ini pula, selayaknya mulai serius menggiring investor Malaysia yang berminat mengembangkan usaha perkebunan sawitnya, masuk ke areal degraded land.

Polanya bisa lewat perizinan hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan hutan tanaman rakyat (HTR).

Sayangnya, seperti dikritik Gapki, penyusunan aturan pemanfaatan degraded land sebagai lahan yang dapat dimanfaatkan, belum begitu jelas.

"Pemanfaatan degraded land aturannya tak kunjung beres," keluh Fadhil Hasan.

Selanjutnya peningkatan kinerja industri sawit nasional tentu bukan semata peningkatan produksi CPO lewat perluasan kebun tetapi juga pengembangan industri hilirnya yang jauh lebih potensial lewat aneka produk bernilai tambah tinggi.

Dengan demikian, kalangan investor Malaysia harus pula diarahkan untuk pengembangan industri oleokimia di Indonesia berupa pengolahan CPO menjadi aneka produk kimia bernilai tambah tinggi seperti fatty acid, fatty alcohol, glyserin, dan methyl ester.

Aneka produk kimia tersebut merupakan bahan baku industri perawatan tubuh seperti sabun mandi, sampo, kondisioner, deterjen, makanan, plastik, farmasi bahkan pelumas.

Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) memperhitungkan kapasitas oleokimia Indonesia tahun lalu mencapai sekitar 2 juta ton, melampaui kinerja Malaysia. 

Sepanjang tahun ini kapasitas produksi oleokimia nasional diperkirakan menembus 3 juta ton dan akan terus bertambah hingga 4 juta ton pada tahun depan.

Bisa dibayangkan jika seluruh investor sawit Malaysia juga ikut membangun industri hilirnya di Indonesia. Padahal, sejauh ini minyak sawit hasil kebun di Indonesia langsung dibawa ke pengolahan CPO di Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Belanda, Afrika Selatan, India, bahkan ke China

Pada akhirnya, selain upaya menggiring investor Malaysia memanfaatkan lahan degradasi, saatnya pula menagihnya untuk membangun industri hilir di Indonesia. 

 

 

 

Editor : Martin Sihombing

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions